Prahara Perempuan

Bookmark and Share

>> 8.02.2010


"Ibu..." terdengar suara lirih Yayat sambil berlari kecil menghampiri wanita tua itu. Wanita tua itu tidak sendiri, seorang gadis kecil mengapit erat tangan kirinya, wajahnya menyiratkan sebuah kerinduan yang tiada tara. Air mata Yayat terjatuh. Gadis cilik itu adalah anak dari buah birahinya dengan mas Doni, sepuluh tahun yang lalu.

"Ibu, sepuluh tahun sudah aku di Lembaga Permasyarakatan ini, apakah ibu sudi menerimaku menjadi seorang wanita seperti ibu.”
”Sudahlah nak, tidak ada yang perlu disesali, hidup akan terus berjalan, tegarkan hatimu, seperti karang ditengah lautan. Teguhkan langkahmu, seperti gunung yang selalu tegak teguh. Berbuatlah kebaikan, seperti matahari yang selalu bersinar demi manusia, tidak perduli manusia itu jahat ataupun baik.” kata-kata sejuk membuat Yayat semakin kuat memeluk kaki ibu dan menciumnya, air mata Yayat yang menetes semakin tak terbendung mengalir deras.

"Mohon ampun ibu...engkau adalah wanita yang terbuang oleh nasib,terasing oleh keluarga, terpasung oleh lingkungan. Namun engkau tetap berjalan merawatku, membesarkanku dengan cinta, mendidikku menjadi wanita yang sesungguhnya," bergetar sekujur tubuh Yayat menahan emosi.

"Ibu maafkan nak, dan meminta maaflah kau kepada Tuhan," suara ibu terbata-bata,
"Ibu, engkau dan anakmu ini, harus tetap berjalan lagi dan lagi, sampai kita tiada lagi Yat.” kembali terdengar suara ibu sambil membantu Yayat berdiri dan menghapus air mata Yayat dengan sapu tangan lusuh yang dikeluarkan dari tas kain sederhana.

Yayat kembali terbayang tragedi berdarah sepuluh tahun yang lalu, yang telah ia tebus di Lembaga Permasyarakatan ini. Masih terngiang makian ibu dikupingku.
”Sudah Ibu bilang, jangan dekati dia. Dia itu bajingan, keparat, maunya enak sendiri.” kata-kata ibu memaki mas Doni.
Apa yang salah dengan mas Doni. Bukankah dia orang baik, ganteng, bodi tegap, punya mobil, orang kantoran, banyak duit. Ah ibu, norak amat. Nggak tahu jika wanita zaman sekarang begitu susahnya mendapat jodoh.
"Coba lihat itu gadis-gadis yang sudah berumur. Pada antri semua untuk menjadi perawan tua. Ibu..ibu, bodoh amat sih. Aku kan wanita, susah nyari calon suami kayak dia," Suara hati Yayat membela diri.


Dibandingkan Pandi, "puih!!" pemuda kampungan itu, jika ingat dia rasa-rasanya aku mau muntah. Miskin, tidak berpendidikan, jelek!.., nggak ah. Mending aku bunuh diri dari pada harus menjadi istri Pandi.

”Yat, jangan mudah percaya dengan yang namanya lelaki. Mereka itu semuanya sama. Mau enaknya saja. Mereka itu bajingan.”
Ah ibu, lagi-lagi bajingan-bajingan, mentang-mentang ditinggal pergi bapak bukan berarti semua laki-laki itu bajingan, emang Yayat pikirin. Lagian mas Doni udah janji mau menikahi Yayat. Jika sudah nikah tentu ibu juga yang senang. Derajat kita akan naik, banyak harta, rumah bertingkat, perhiasan, teve, kulkas, makanan enak, semuanya ada. Kemana-mana naik mobil, nggak usah lagi naik angkot yang bikin Yayat pusing, sesak nafas. Andaikan ibu tahu, bagaimana mas Doni mampu membuatku jatuh cinta, semuanya terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Mas Doni merupakan pria yang paling hebat yang pernah kujumpai walaupun usianya sudah memasuki empat puluh lima tahun namun tetap gagah.

Yayat siap menghadapi Doni yang selalu ingin melampiaskan rasa cintanya kepada Yayat dengan letupan-letupan birahi nan membara hingga Yayat hamil, ya hamil. Benih Doni telah bersarang di dalam rongga tubuhnya, membentuk segumpal darah yang kata ibu adalah darah bajingan.

"Dasar wanita kotor, anak bodoh!!"
Ibu berkali-kali menampar wajahku, "Mas Doni udah janji akan menikahiku bu"
"Kamu tidak tahu siapa lelaki itu Yat," suara ibu tertahan...air mata ibu terjatuh.
Yayat tersentak, ketakutan melihat ibu menangis.
"Lelaki yang sangat kau cintai dan engkau bangga-banggakan selama ini, lelaki yang selalu menyebabkan ibu memarahimu dan engkau balas memaki ibu, adalah lelaki yang sama yang pernah memasuki tubuh emak dengan darah-darah birahinya, darah yang membentuk segumpal daging, daging yang membentuk sebuah orok manusia yaitu engkau, Yat. dia adalah ayah kandungmu!”

Seperti tersambar petir Yayat mendengar pengakuan ibu, ternyata ibu selama ini menyimpan sebuah kisah yang tak mampu ditahannya. Kisah perih sehingga ibu sangat membenci laki-laki terutama mas Doni.

Ooh Tuhan, berikanlah kami berkah dan ridho Mu dalam melanjutkan sisa hidup kami ini, mohon Yayat didalam hati. Berjalan pelan mereka meninggalkan tembok kokoh yang banyak memberi Yayat pelajaran-pelajaran hidup.

3 komentar:

Posting Komentar