Masalah gizi anak di lahan subur

Bookmark and Share

>> 7.22.2008

Tangis bocah-bocah kecil meramaikan sebuah klinik darurat dari bambu di kaki gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat ini.

Ibu Lingsana datang dengan menggendong bayi perempuan yang baru berusia 18 bulan.
Belasan balita tengah menunggu giliran untuk menjalani timbang badan. Satu per satu balita dipanggil, ditimbang dan berat badan mereka dicatat dengan seksama.

Bayi ibu Lingsana tercatat hanya 7,3 kilogram, dan bobot itu terlalu ringan untuk balita seumurnya. Program Pangan Dunia PBB, WFP, mengatakan, kurang gizi pada anak mencapai angka 40 persen di beberapa tempat.

Gejala kurang gizi mudah di lihat di beberapa desa dan halaman sekolah. Sekitar 30 anak menjalani penimbangan di sebuah puskesmas di dusun Senaru, tak jauh dari Gunung Rinjani.

Sebanyak 10 dari mereka didapati memiliki berat badan di bawah normal untuk usia mereka. Ironisnya, mereka tinggal di kawasan pegunungan yang subur, dan hasil panen mereka mengalir ke pasar, kata Rakka Akriani, editor yang bertugas di Mataram, NTB.


Faktor menentukan

Kondisi lahan dan taraf penghasilan lazim dianggap sebagai faktor yang menentukan kondisi gizi di suatu daerah. Namun, Iskandar Sitorus dari LBH Kesehatan tidak sependapat.

Pemerintah menggulirkan program penyluhan kesehatan hingga ke desa-desa. Demikian juga badan PBB, kata country director WFP di Jakarta, Angela van Rynbach

"Saya rasa kita mendapati porsi yang tidak berimbang antara nasi dan sayur mayur yang sangat sedikit, "katanya. "Pertama-tama, anda memerlukan karbohidrat, nasi, tapi juga vitamin, tambah van Rynbach. WFP ikut menggulirkan upaya memasyarakatkan makanan berimbang.

"Dan, bersama Progam Pangan Dunia, kami telah bekerja sama dengan klinik-klinik lokal dan warga komunitas untuk mengajak wanita mengkonsumsi lebih banyak sayur, khususnya yang berdaun dan hijau, menambahkan buncis di samping nasi," katanya.

Pesan kesehatan

Namun, tampaknya pesan semacam itu belum sampai ke seluruh orang tua, termasuk warga Senaru di kaki Gunung Rinjani, Lombok. Sebut saja, ibu Rauhon yang memiliki dua anak. Satu berusia 12 tahun, dan yang kecil dua setengah tahun. Si kecil menghabiskan sebagian besar waktunya di gendongan ibunya.
Keluarga ibu Rauhon memiliki lahan sayur mayur, termasuk kacang dan terung.

Tapi, mengapa hanya sedikit panen mereka yang dihidangkan di meja keluarga? Saya perlu menjual sayur untuk membeli beras untuk keluarga, jawab ibu Rauhon. "Lebih penting membeli beras," tandasnya.

Menurut Ibu Rauhon, lebih baik anak-anaknya makan lebih banyak beras, daripada menambah jumlah sayur yang dikonsumsi.

"Kalau mereka makan banyak nasi tanpa sayur sekalipun, asal dibubuhi garam, itu sudah cukup," katanya. Para ahli nutrisi tentu tidak sependapat bahwa nasi plus garam cukup untuk memenuhi gizi anak-anak. Menu semacam itu berisiko membuat bocah-bocah berisiko tumbuh lamban, dan perkembangan iq mereka terhambat dan kekebalan tubuh mereka rentan terhadap penyakit.

Menangani kekurangan gizi memang tantangan. Dan, masalah ini mengharuskan upaya untuk mengubah keyakinan turun temurun.(BBC)



0 komentar:

Posting Komentar